Difteri Mengancam, Lihat Status Imunisasi Anak

Sabtu, 22 Oktober 2011

Wabah penyakit difteri saat ini melanda proposinsi Jawa Timur. Bahkan, beberapa daerah telah ditetapkan sebagai daerah dalam status Kejadian Luar Biasa penyakit mengerikan ini. Mengingat mobilitas penduduk Indonesia yang demikian tinggi, tampaknya kejadian wabah di Jawa Timur tersebut jangan diremehkan karena berpotensi berjangkit di daerah lain di indonesia.

Hal mendesak yang bisa dilakukan orang tua dalam pencegahan penyakit yang dapat mengancam jiwa ini adalah dengan melihat dengan cermat status imunisasi DPT buah hati kita, apakah sudah lengkap?
Di Jawa timur, difteri sudah menjangkiti 34 kabupaten dan kota. Jumlah penderita difteri yang terpantau saat ini menjadi 333 orang. Sebagian besar korban adalah anak-anak yang tidak berdaya. Dengan cakupan imunisasi yang tinggi, penyakit berbahaya ini dapat ditekan dan diredam penyebarannya. Cakupan imunisasi yang menurun dapat menjadi penyebab timbulnya kasus baru. Sehingga, sangat penting mempertahankan cakupan imunisasi yang tinggi dan anak harus diimunisasi sesuai jadwal.

Cakupan imunisasi DPT harus mencapai target yang telah ditetapkan, yaitu di atas 80%. Namun di berbagai daerah, angka cakupan tersebut sangat rendah sehingga penyebaran penyakit ini sangat mudah terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Selain cakupan imunisasi yang masih rendah, masih banyaknya orang tua yang enggan memberikan imunisasi kepada anak-anak mereka adalah penyebab utama mengapa penyakit difteri muncul kembali dan mewabah.

Penyakit Difteri
Difteri adalah penyakit akibat terjangkit bakteri yang bersumber dari Corynebacterium diphtheriae. Difteri ialah penyakit yang menakutkan karena telah mengorbankan ribuan nyawa. Hingga saat ini, sewaktu-waktu penyakit mengerikan ini dapat mewabah di daerah-daerah dunia yang belum berkembang termasuk Indonesia. Orang yang selamat dari penyakit ini menderita kelumpuhan otot-otot tertentu dan kerusakan permanen pada jantung dan ginjal. Anak-anak yang berumur satu sampai sepuluh tahun sangat peka terhadap penyakit ini.

Kuman difteri disebarkan oleh menghirup cairan dari mulut atau hidung orang yang terinfeksi, dari jari-jari atau handuk yang terkontaminasi, dan dari susu yang terkontaminasi penderita. Gejala yang muncul ialah sakit tenggorokan, demam, sulit bernapas dan menelan, mengeluarkan lendir dari mulut dan hidung, dan sangat lemah. Kelenjar getah bening di leher membesar dan terasa sakit.

Lapisan (membran) tebal terbentuk menutupi belakang kerongkongan, sehingga dapat menutup saluran pernapasan dan menyebabkan kekurangan oksigen dalam darah. Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin diphtheria, virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin) C. diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis.
Masa tunas penyakit ini adalah sekitar 2-6 hari. Penderita pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik seluruh tubuh. Demam jarang melebihi 38,9 derajat Celcius dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteri. Pada penampilan gejala permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan.

Sekret hidung berangsur menjadi kental dan berwarna kuning atau hijau, kadang membuat lecet pada lobang hidung dan bibir atas. Perjalanan penyakit awalnya lambat sehingga gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.

Gejala lain adalah sulit makan, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2 hari timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke langit-langit mulut hingga ke laring pita suara dan tenggorokan. Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Dalam keadaan tertentu menyebabkan pembengkakkan kelenjar di daerah leher. Bila bersamaan dengan pembengkakkan jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck atau seperti leher sapi.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit gangguan infeksi otot jantung atau miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan, lapisan membran di mulut terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
Akibat yang ditimbukan penyakit difteri sangat fatal bila sudah terjadi komplikasi. Komplikasi yang paling awal dan paling sering adalah sumbatan atau obstruksi jalan nafas. Gangguan ini disebabkan oleh karena tertutup jalan nafas oleh membran difteria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah sub mandibular dan servikal.

Efek toksin atau zat racun kuman tersebut dapat menimbulkan berbagai kejadian fatal. Bila kasus berat, bisa terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi kelemahan otot langit-langit lunak sehingga disertai kesukaran menelan dan mengeluarkan atau memuntahkan makanan.

Dalam keadaan lebih berat dapat mengakibatkan kesadaran menurun hingga koma. Dalam keadaan seperti itu, kematian bisa terjadi dalam satu minggu sampai 10 hari. Penyulit pada jantung berupa miokardioopati toksik bisa terjadi pada minggu ke dua, tetapi bisa lebih dini (minggu pertama) atau lebih lambat (minggu ke enam), hingga bisa pula terjadi gagal jantung.

Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Kelumpuhan pada gerakan otot langit-langit mulut pada minggu ke-3, mengakibatkan suara menjadi sengau, terjadi muntah dari hidung, kesukaran menelan. Kelemahan otot mata biasanya dapat terjadi pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7. Pada keadaan lain bisa mengakibatkan kelemahan otot kaki, tangan dan otot jantung.

Imunisasi DPT
Dalam upaya mencegah penyebaran penyakit ke seluruh wilayah di Indonesia semua pihak khususnya orang tua harus lebih cermat memantau kesehatan buah hatinya. Sebaiknya mulai saat ini orang tua harus segera melihat status imunisasi anaknya apakah sudah sesuai jadwal yang telah direkomendasikan dokter. Imunisasi DPT adalah vaksin kombinasi yang terdiri dari bakteri pertusis yang telah dimatikan, toksoid (zat yang menyerupai racun) dari difteri dan juga tetanus.

Vaksin DPT ini diberikan untuk mencegah penyakit difteri, penyakit pertusis yang sering disebut batuk 100 hari dan penyakit tetanus. Vaksin dikombinasikan dengan tujuan supaya anak tidak perlu disuntik berkali-kali untuk mendapatkan tiga vaksin sekaligus.

Menurut jadwal imunisasi Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2011, imunisasi DPT dapat diberikan pada usia minimal 6 minggu sampai 2 bulan. Lalu dilanjutkan pada usia 4 bulan dan 6 bulan. Setelah itu diulang kembali pada usia 18 bulan dan usia 5 tahun dan 12 tahun. Bila ternyata usia bayi sudah melewati 2 bulan dan belum mendapatkan imunisasi DPT dapat diberikan imunisasi DPT segera dengan mengikuti jadwal usianya.

Instansi Departemen Kesehatan dan jajarannya di seluruh Indonesia harus meningkatkan pemantauan pelaksanaan imunisasi baik kualitas maupun cakupan imunisasi. Untuk wilayah yang cakupan imunisasinya rendah harus diadakan sweeping imunisasi. Bagi petugas imunisasi, perlu meningkatkan keaktifan dalam penyuluhan tentang imunisasi kepada masyarakat khususnya yang harus dilakukan orang tua dalam memenuhi kebutuhan anak tentang kesehatan.

Bila hal ini diremehkan, maka pemenuhan kebutuhan dasar terhadap hak anak diabaikan orang tua yang lalai secara disengaja. Anak adalah mahluk sosial yang tidak berdaya dan tidak dapat mengeluh untuk meminta imunisasi, Tetapi mereka hanya bisa mengerang dan terancam jiwanya ketika penyakit DPT menderanya tanpa kepedulian orang tua.

(Penulis adalah dokter spesialis anak dari RS Bunda Jakarta, Klinik Kesulitan Makan, Jl. Rawasari Selatan 50, Cempaka Putih, Jakarta Pusat)


Sumber :Kompasiana
Asep Candra
http://health.kompas.com

Translate to : by

0 komentar:

Posting Komentar